Thursday, February 15, 2007

Teringat Tutur Masa Kecil

Dahulu, sewaktu saya masih TK dan SD ketika seragam sekolah yang saya pakai masih putih-ungu dan merah-putih, saya ingat kebiasaan saya dan teman-teman sepulang dari sekolah, kami akan mencari ranting-ranting kayu sepanjang jalan masing-masing akan membawa satu atau dua ranting, lalu kami akan menuju sebuah pondok kecil di tengah kebun kopi, sebuah pondok dengan halaman yang sangat bersih dan tertata, bekas guratan-guratan sapu lidi selalu tampak jelas bergaris-garis di tanah halaman memberi tanda kalau sang pemilik pondok pastilah orang yang sangat rajin menyapu, menyukai keindahan dan keteraturan, dinding pondok terbuat dari anyaman bambu yang punya nilai seni tersendiri.

Setelah sampai di pondok itu, kami semua akan sangat girang jika melihat pintu pondok itu terbuka dan asap tungku mengepul dari dalamnya, itu berarti sang pemilik ada di rumah. Di depan pondok dengan sikap polos anak-anak kami akan mengumpulkan ranting-ranting dan menyerahkan pada sang pemilik pondok dengan penuh harapan pemilik pondok akan menggantinya dengan sesuatu yang kami inginkan, walau seringkali pemilik pondok minta kami menunggu jika beliau sedang memasak atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lain, beliau memerintahkan kami duduk teratur berjejer dekat tungku dan jangan berebut serta ribut, saya masih terbayang saat duduk di dekat tungku saya sibuk memperhatikan api membakar kayu, kobaran api kecil menari menghangatkan periuk hitam pemasak nasi, jika telah mendidih saya akan bersorak girang, bahwa tak lama lagi permintaan kami akan dipenuhi, karena nasi telah masak. Akan tetapi, saya juga sering salah duga ternyata, sang pemilik pondok belum juga segera memenuhi permintaan kami, melainkan malah menyodorkan sebuah cerek dan jeregen kosong, beliau meminta dijemputkan air ke mata air di dalam lurah yang berjarak 100-150 meter dari pondok tersebut, biasanya dua atau tiga orang dari kami akan segera melaksanakan. Waktu itu saya tidak pernah terpikir, mengapa tak seorangpun dari kami yang protes, mungkin harapan agar keinginan segera dipenuhi lebih besar dari pada pikiran untuk mempertanyakan kenapa ditunda-tunda?.


“ENGKU” begitu orang sekampung memanggil sang pemilik pondok, beliau adalah seorang Ulama yang telah lanjut usia, tinggal sendiri di pondok, yang saya tahu, istri beliau telah lama meninggal mungkin sebelum saya lahir, saya tidak tahu mengapa beliau memilih tinggal di pondok itu dari pada di rumah anak-anak dan cucu-cucunya, padahal sepertinya anak cucunya sangat menghormati dan menyayanginya. Kata orang, beliau hafal Al-Quran, dan saya sering mendengar lantunan ayat-ayat suci dari pondok itu, sehingga suasana kebun kopi yang cendrung gelap terasa begitu nyaman. Atau ketika beliau naik mimbar memberi ceramah di mesjid, ayat-ayat Al-Quran akan lancar mengalir dari bibirnya.


Bila “ Datuak Engku” begitu kami memanggilanya, sudah mengambil bangku kecil dan duduk di dekat kami, maka kami akan makin merapat dan terdiam tak sabar mendengarkan suaranya keluar. Ya itulah yang kami tunggu, beliau akan menukar ranting-ranting kayu dan secerek air dengan bercerita tentang kisah-kisah para nabi dan kisah-kisah tauladan dalam tutur dan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak dan membawa hanyalan anak-anak terbang ke dalam kisah itu, jika beliau bercerita tentang kisah Nabi Yunus, maka saya sudah membayangkan berada di perut ikan, Nabi Nuh, maka saya pun membayangkan sebuah kapal yang besar. Setiap hari berganti maka kisah para nabi itu akan bersambung, dan setelah selesai akan diganti dengan kisah Nabi-Nabi yang lain. Saya pertama kali mendengar kisah-kisah itu dari beliau, sebelum saya bisa membaca kisah-kisah itu dalam terjemahan Al-quran atau dari buku-buku yang saya baca.


Terkadang, beliau juga mengisahkan tentang kisah anak-anak tentang kejujuran, menuntut ilmu, dan sifat-sifat terpuji, yang setelah besar baru saya tahu itu sebagian dari kisah-kisah masa kecil para iman-iman mahzab, tetapi karena waktu itu saya masih kecil dalam dunia anak-anak pemikiran saya tidak sampai menelaah ke arah itu, saya hanya senang mendengarkan kisah-kisah itu dan ingin berprilaku meniru anak-anak dalam kisah itu, ya sifat anak-anak selalu ingin meniru apa yang didengar dan dilihatnya dan termasuk juga saya.


Saya tidak ingat persisnya, kapan saya dan teman-teman sekolah berhenti datang ke pondok itu, mungkin dalam masa peralihan anak-anak ke remaja, mungkin juga saat saya telah tamat sekolah dasar, karena jika pulang dari sekolah SMP, arahnya bertolak belakang dari sekolah TK dan SD, dari sekolah ke rumah tidak lagi melewati kebun kopi itu, dan saya juga sudah jarang melihat beliau naik mimbar di mesjid apakah karena sudah semakin sepuh atau alasan apa, juga tak menjadi tanda tanya bagi saya waktu itu, dan mungkin juga waktu itu saya dan teman-teman mulai suka menonton TV, atau membaca komik dan novel-novel detektif hingga melupakan singgah ke pondok kecil di kebun kopi. Hal itu seeakan sebuah episode yang hilang dan terlupakan dalam memori saya.

Kini, Beliau telah tiada, sekitar 9- 8 tahun yang lalu, menemui Sang Maha Cinta, semoga amal ibadah beliau diterima disisiNYA dan semoga Allah menyayangi beliau seperti beliau menyanyangi setiap anak-anak yang datang ke pondoknya. Pondok itu masih ada, tapi sudah berubah bentuk dan fungsi, kebun kopi yang dulu juga telah tak bisa lagi disebut kebun sekarang saya tidak tahu lagi apakah masih ada batang kopi di sana atau tidak. Tetapi walau beliau telah tiada dan pondok itu telah berubah tapi kenangan dan cerita beliau tentang kisah-kisah mulia itu seperti terukir jelas dalam ingatan. Terima kasih Datuak Engku, hanya doa saat ini yang dapat saya panjatkan, semoga Allah memberi tempat terbaik bagi Beliau.


******
Ketika saya teringat sepenggal kisah masa kecil....

4 comments:

Rey said...

wah masa kecil yg menyenangkan...!

Anonymous said...

masa kecil yg indah dikampung...hiks...hiks..rindu...

pipitpadi said...

iyo uni rindu...

Wulan said...

Ondeh Ur.. ancak bana caritonyo.. :D..Jadi taragak lo pulang kampuang lah..