Sunday, August 13, 2006

Pesantren Impian



Ini bukan cerita bersambung dalam majalah Annida, tentang pesantren impian yang nun jauh dinegeri Sabang di paling ujung pulau Sumatra terpencil, sunyi dan damai, tapi ini adalah pesantren impian yang entah di mana mungkin di negeri antah barantah.

Kini jika ada yang menyebut kata pesantren atau tak sengaja mataku membaca kata pesantren, jujur ada riak riak aneh di hati ini. Ada kerinduan ada kehampaan, ada sedih ada yang hilang ada kosong ada sejuk segala rasa rasa aneh bercampur aduk di hati ini. Aku rindu pesantren, sesuatu yang tak pernah aku miliki dan rasakan sejak dulu, kerinduan yang seakan kusesali waktu andai bisa kubalik, andai bisa kukembali dan putar waktu dimana ku bisa masuki dunia yang kini membuatku rindu, tapi kini hanya derai rindu yang mengalir di mataku, dan waktu telah berlalu.

Dulu aku tak pernah berfikir akan merindukan dunia ini, tak pernah terlintas dibenakku. Waktu aku menyelesaikan SD aku memasuki SMP biasa yang tak jauh dari kampungku yang bisa kutempuh dengan berjalan kaki, seorang Bapak-Bapak di kampungku pernah bertanya “ mengapa tidak masuk Tsanawiyah, atau Pesantren?” mungkin itu pertanyaan yang wajar dilontarkan padaku mengingat latar belakang Bapak yang disebut “ Buya di kampungku, alhamdulillah aku terlahir menjadi putri seorang Bapak yang telah menjadikan aku seorang islam sejak lahir sesuai fitrahku, sosok yang sangat aku hormati walau aku sadar Bapak adalah manusia biasa yang tak luput dari cela, ya waktu itu dengan santai aku menjawab “ belajar agama kan bukan hanya dipesantren, di sekolah umumpun jika kita ingin belajar agama bisa aja dan juga di rumah jika dididik dengan agama juga akan mengerti tentang agama, dan sekarang liat aja banyak lulusan pensantren malah lebih tidak peduli dengan agama dari lulusan sekolah umum” ya begitulah pendapatku waktu itu, pendapat yang kuanggap sangat benar, aku sering mendengar cerita dikampung tentang Si A. Si B dan Si C yang katanya dulu lulusan pesantren tapi lihatlah sekarang, salah satu yang alasan yang membuat aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia pesantren, dan pengalaman sepupuku yang kabur dari pesantren ternama di sebuah kota di Ranah Minang juga menambah ketidak tertarikanku, dia menghilang dua bulan dari pesantren tanpa sepengatahuan keluarga besarku, pihak pesantren juga tidak memberi tahu , hal itu terkuak saat sepupu tertuaku pergi menjenguk dia kesana dan ternyata dia sudah menghilang sejak dua bulan sebelumnya. Keluarga mana yang tak cemas anak dilepas untuk belajar ternyata hilang tak tau rimba dan kabar berita. Lama juga waktu untuk mencarinya dan akhirnya ditemukan, dan alasan dia keluar adalah katanya tidak tahan dengan keterkekangan aturan yang terlalu keras, dan ia merasa terbuang disana, dia menganggap anak anak yang dimasukkan disana anak anak bandel yang dipaksa dididik dengan keras dan termasuk dirinya, walau akhir akhir ini aku berfikir itu hanyalah bentuk pemberontakan seorang anak akan orang tua saat gejolak usia remaja, saat meraka minta perhatian dan kasih sayang lebih banyak, dan tak terpenuhi saat meraka berada dipesantren atau kesiapan anak yang masih labil mengahadapi perubahan dirinya, jadi kesalahan rasanya bukan pada pesantren. Tapi sedikit banyak peristiwa itu telah menpengaruhiku dan juga mungkin keluargaku, buktinya saat aku tamat SD tak ada yang menganjurkan aku masuk pesantren atau tsanawiyah, SMP adalah kebebasan memilih satu satunya bagiku selain hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki yang jaraknya dua kilo meter dari kampungku, ya lebih murah jika dibandingkan aku harus mondok dipesantren seperti sepupuku itu yang harus menyediakan uang perbulan yang tentu tak boleh telat dan yang tentu cukup mahal buat kantong orang tuaku yang petani biasa. Dan yang lebih kuat waktu itu aku memang sama sekali tidak tertarik., kasih sayang orang tua begitu penuh kudapatkan rasanya sangat sayang jika harus tinggal jauh di pesantren. Dan mungkin begitu juga dengan kakakku, kami belajar di SMP dan SMU yang sama. Hingga aku tamat SMU pendapatku tidak berubah, yang belum ada getar getar rindu akan dunia pesantren padaku hari-hariku kujalani biasa.

Saat aku duduk di bangku kuliah, entah dari mana awalnya aku mulai merasa ada yang kurang dalam hidupku, ilmu yang agama yang ku tahu selama ini tak seberapa, rumahku memang telah menanamkan nilai nilai agama padaku tapi itu tak seberapa hanya kulit kulit luarnya saja. Buku buku bapak yang telah kubaca tidak begitu banyak untuk memuaskan hasrat keingintahuanku, karena bagaimanapun buku tetap sesuatu yang lux dalam keluargaku sehingga tidak ada anggaran khusus untuk membeli buku karena dipakai untuk memenuhi kebutuhan yang lebih mendasar, hanya terkadang jika bapak meminjam buku dari rekan-rekannya akupun akan ikut membaca. Di saat aku mengenal teman temanku yang berlatar belakang pesantren ada rasa kosong dalam hatiku, dan mulai berfikir betapa beruntungnya mereka, betapa banyak ilmu yang mereka miliki untuk dunia dan akhirat, aku hanya bisa bengong saat teman teman satu angkatanku bertutur kata dalam bahasa arab, aku punya beberapa teman suka berbahasa arab di kelas, mereka cerita tentang kitab Kuning, arab gundul, sikap mereka seakan punya dalil yang kuat mereka bertutur begitu teratur dan tak jarang jarang diselingi dengan penjelasan yang jelas tentang Alquran,ya mereka hafal alquran, sedang aku ayat ayat pendekpun diragukan, katanya seorang anak yang hafal Al-quran bisa menghadiahkan Mahkota untuk Ibundanya kelak di akhirat, oh Bunda maafkan anakmu ingin kuhadiahkan mahkota itu untukmu, tapi bagaimana mungkinkah dan masih bisakah aku memulai?. Ada pesantren yang dekat dengan kampusku, setiap ku melewati depan pesantren itu setiap kali pula ada ruang yang terusik, dan aku tidak tau apa namanya rindu, haru atau sedihkah?.

Di tahun 2003 ada dua adik-adik mahasiswa baru yang masuk kost-san ku, mereka jebolan pesantren (yossi and yetti), tutur bahasa mereka begitu halus dan tertata, aku sering bertandang ke kamar mereka hanya ingin mendengar mereka bercerita atau meminjam buku-buku mereka, jika mereka bercerita tentang bagaimana suasana dan cara mereka belajar di pesantren adalah kisah kisah yang diam diam begitu ingin kusimak dan aku tidak menceritakan kepada mereka betapa berartinya kisah itu bagiku. Bersama mereka aku temukan apa yang tidak ada pada diriku, sering kami habiskan waktu selepas subuh untuk lari pagi keliling kampus yang lumayan luas, ya aku suka hal itu karena itu salah satu cara menghilangkan kebiasaan burukku yang suka mengulang tidur selepas sholat shubuh dan baru bangun kembali 45 menit sebelum kelas di mulai, ya jarak kos dan kampusku cukup dekat hanya butuh waktu 5 menit saja untuk mencapainya. mereka bilang “ Kak, olah raga ala Rasullullah begini, seperti berkuda dan memanah “, ya mereka mengajarkan gerakan gerakan olah raga itu padaku, (duh adek-adekku yang manis kakak kangen kalian, rajin belajar ya dek moga ada suatu masa kelak yang dapat mempertemukan kita kembali).

Di sisi lain aku juga sadar pesantren juga bukan jaminan akan melahirkan lulusan-lulusan yang agamais karena semuanya berpulang juga pada pribadi masing masing, aku juga punya teman sekampus yang lulusan pesantren tapi setelah di universitas tidak mencerminkan dia seorang lulusan pesantren, dia masuk kelompok suatu aliran music yang menurut rekan rekannya salah satu ritualnya adalah meminum darah hewan atau menginjak-nginjak Al-quran sebagai syarat menjadi anggota kelompok itu, benar atau salah cerita itu aku tidak tau, dan apakah temanku itu juga telah sejauh itu, aku juga tidak tau juga tidak akan berani bertanya padanya. Dalam suatu dialogku dengannya, dia pernah mengatakan bahwa masuk pesantren bukanlah keinginannya tapi keinginan orang tuanya, dia merasa terkekang dan dipaksa berada disana, waktu dia bercerita hal itu aku hanya memberi komentar “ Sekurang-kurangnya kamu sudah punya bekal untuk hidupmu kelak terlepas dari diamalkan atau tidak hari ini, 6 tahun di pesantren pasti ada yang tetap berbekas ilmu itu dalam hidupmu dan kamu beruntung sudah punya kesempatan untuk belajar” ya walau bagaimanapun aku tetap menganggapnya beruntung punya kesempatan untuk belajar agama lebih banyak dibanding aku. Diamalkan atau tidak itu adalah pertanggungjawaban pribadinya dengan sang Khalik. Waktu itu ia menjawab komentarku dengan senyuman, aku anggap saja itu tanda persetujuan darinya, semoga suatu hari nanti teman, engkau akan menjadi seperti yang diharapkan orang tuamu, perlambang kelam yang sering engkau kenakan akan berganti dengan warna yang terang penuh cahaya, karena sesungguhnya engkau telah punya lentera tinggal menyalakan pematiknya. Aku telah sematkan rindu pada pesantren dan sisi lain ini tak lagi membuatku ragu dan mampu enyahkan rindu yang semakin mengharu biru.

July 2006, aku tak masuk kantor karena sakit aku hanya beristirahat di rumah pamanku di Tangerang, pagi itu aku ngobrol dengan seorang Ibu yang memberi jasa cuci dan gosok di rumah pamanku, ya paman dan tanteku adalah sepasang suami istri yang sibuk sehingga butuh jasa orang lain untuk menyelesaikan perkerjaan rumah yang kadang terbengkalai saat selama ini belum menemukan orang yang tepat untuk memberi jasanya. Ibu itu bercerita jika putra bungsunya sekarang berada di pesantren di Jawa barat dan dia bekerja untuk membiayai sekolah anaknya di pesantren, dia bertutur kasian anaknya jika tidak dimasukkan ke pesantren sejak SD anaknya sudah punya keinginan kuat untuk bisa bersekolah di pesantren, anaknya sudah mulai menabung dengan berjualan Koran agar bisa masuk pesantren selepas tamat dari SD, hingga menurut Ibu itu tak tega jika keinginan anaknya tak dituruti, walau biayanya mahal selama dia bisa bekerja dia akan berusaha membiayai anaknya selama belajar di sana, dan jika niatnya baik rejeki pasti ada katanya, buktinya di pesantren itu biaya yang dikenakan padanya separuh dari biaya perbulan yang harus dibayar sedang separuhnya lagi ditanggung oleh seorang ustad. aku terharu dan salut mendengar ceritanya, andai waktu seumur anaknya, aku punya keinginan sekuat keinginan anaknya, pasti orangtuaku akan memasukkan aku ke pesantren, karena orang tua akan melihat kemana keinginan kuat anaknya dan berusaha menurutinya selama keinginan itu baik, walau bukan dari keluarga berada rasanya kalau buat urusan sekolah Ayah-Bunda selalu berusaha, ya aku ingat sejak kecil berbagai kursus aku ikuti dan bahkan sanggar untuk kemampuan seni dan bakat, ayah bunda tak pernah keberatan atau melarangku ( Oh Ayah Bunda, terimakasih) Tapi sayang waktu itu aku aku tidak punya keinginan itu sama sekali tidak terlintas dalam pikiran tentang pesantren. Dan kini berandai-andaipun tiada guna waktu telah berlalu dan tak mungkin lagi kembali.

Rabbi.. kini aku tak tau kemana rindu ini akan aku labuhkan.tapi rindu itu tetap mengisi ruang hatiku, beriku ku waktu, dan kesempatan untuk mengisi ruang kosong di hati ini, waktu yang lalu tak mungkin kembali, hanya hari ini yang kumiliki dan esok belum tentu menghampiri.
*** sebenarnya tulisan ini belum selesai, cukuplah segini dulu, semoga suatu saat disambung lagi***

5 comments:

Anonymous said...

ah Uur, uni senang bisa baca ini, Uni berencana mau memasukkan anak uni tahun depan ke pesantren, tp uni nggak mau dia terpaksa. skrg sedang mencari2 pesantren yg bagus, dah Ufi mau krn keinginannya sendiri. ada saran?

Bravo utk blog baru yo diek!

Putirenobaiak said...

Uni sanang baco ttg pesantren ko Uur.

Uni sedang mikir mau masukin anak yg tua ke pesantren taun depan, tp uni nggak mau dia terpaksa. gimana ya caranya? skrg lagi nyari2 pesantren yg bagus dan terjangkau 'kepeng' hehe. Ado saran diak?

Bravo utk blog baru! teruslah menulis yo pipik padi :D

Anonymous said...

Uni sanang baco ttg pesantren ko Uur.

Uni sedang mikir mau masukin anak yg tua ke pesantren taun depan, tp uni nggak mau dia terpaksa. gimana ya caranya? skrg lagi nyari2 pesantren yg bagus dan terjangkau 'kepeng' hehe. Ado saran diak?

Bravo utk blog baru! teruslah menulis yo pipik padi :D

pipitpadi said...

Mokasih banyak uni, kalau anak uni ado keinginan masuakkan sajo lah uni, rancak tu mah, bisuak pas tingket tigo setara tamat smp anyo ka inyo baliak, lai indak barubah kok barubah ka bisa pindah ka sikola umum, Uni katonyo di Medan (sumut) ado pesantren nan rancak tapi uur indak tau doh, trus di tapaluni selatan ado pesantren nan terkenal dengan gaya hidup sederhananyo tapi mungkin kurang cocok. Uni di kampuang uni padang panjang banyak pesantren sadonyo rancak rancak uni.

kurnia sari said...

Subhanalloh...sm sprti yg q rasakan, mbk.
Wkt msk kuliah jg merasa da sswtu yg kurang dlm hal agama.
Dlu sbnr'y s4 tinggal d pesantren, tp wkt itu blm tw makna sbnr'y kehidupan d pesantren itu.
Jd rasa'y mlah terkekang.
Skrng mlah nyesel klwr dr sana.

Salam knal ya,, mbk.. :)