Saya baru sadar pagi ini setelah saya tidak menemukan al-quran terjemahan itu di meja kantor, ternyata saya semalam meninggalkannya di mesjid. Pas pagi ini, saya lihat ke sana sudah tidak ada. Ini yang ke dua kalinya, di tempat yang sama dengan situasi yang hampir sama. Malam di kos, saya masih berfikir Al-quran itu ketinggalan di meja kantor, tanpa ingat saya sengaja menaruhnya di suatu tempat yang agak tinggi tadi malam. Semoga saja Al-quran itu akan lebih bermanfaat bagi orang yang menemukannya. Saya terkesan dengan ucapan OB di kantor pagi ini, sewaktu dia tahu saya sedang mencari Al-quran dan tidak ketemu. Dia bilang “ Walau Al-quran itu kita yang membeli, tapi itu hanya titipan, mungkin ada yang sedang membutuhkannya” ucapannya benar, saya jadi malu sendiri.
Bapak penjual buku pagi ini, masih memberi penawaran yang cukup menggiurkan “ Mau buku yang mana Mbak? Ambil aja dulu bayarannya nanti saja” hmmm, si Bapak selalu tahu saja jika lagi tanggung bulan. Tapi tidaklah pak, cukup Al-quran saja dulu, buku yang lain nanti saja.
Pas lewat di depan Al Azhar, saya mendengar sayup-sayup suara musik group debu, saya pikir cuma rekaman yang diputar, ternyata di lapangan sana mereka sedang menyanyi sepertinya akan mengadakan pementasan untuk suatu acara. Lumayan juga beberapa menit bisa menyaksikan mereka menyanyi, selama ini hanya lewat layar Televisi saja. Seorang sahabat saya, suka sekali lagu debu.
Di Aula utama gedung depan, saya lihat juga keramaian acara seminar dan bazaar dengan spanduk “ Meningkatkan Kualitas Perempuan untuk Menghadapi Berbagai Tantangan” dalam rangka memperingati hari Kartini, ada tiga pembicara utama, salah satunya Dewi Motik. Meningkatkan kualitas perempuan. Saya jadi teringat debat kelakar dengan teman-teman waktu sekolah saat ada yang bertanya
“ Kamu ingin sekolah setinggi apa”
“ setinggi-tingginya “
“ Mau jadi apa?’
‘Ibu rumah tangga”
“ Lah, buat apa sekolah tinggi, kalau cuma mau jadi ibu rumah tangga?”
Ach, ini bukan komentar yang baru, sering saya mendengar hal yang begini. Banyak orang menganggap menjadi ibu rumah tangga tak butuh pendidikan, dengan kata lain “ tidak apa-apa bodoh dan tidak banyak tahu”, saya juga mendengar komentar orang-orang untuk sepupu saya “ Percuma saja kuliah, toh akhirnya ke dapur juga “ ia melepaskan pekerjaannya dan memilih menjadi ibu rumah tangga rumahan setelah melahirkan anak pertamanya dulu hingga sekarang, dan banyak orang menganggap pendidikannya adalah suatu kesia-siaan.
Seorang ibu, tentu punya tanggung jawab besar, dia tiang dalam keluarganya, dia akan jadi guru dan idola pertama bagi anak-anaknya, sebelum mereka mengenal dunia yang lebih luas di luar rumah. Pendukung sang suami dalam menghadapi segala macam bentuk riak kehidupan. Tiang dan kepala tentu harus saling mendukung agar bisa kokoh berdiri. Apakah pendidikan tidak penting bagi mereka? Dan percumakah jika mereka perpendidikan?. Jadi ibu rumah tanggapun tetap saja bisa berkarya di rumah atau di luar rumah, itu tergantung diri masing-masing.
Akan tetapi, mungkin saya juga dulu punya anggapan yang keliru, pendidikan hanya sekolah dan belajar agama hanya di pesantren. Hingga saya sempat sedih saat tidak mendapat restu untuk bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dari sebagian orang terdekat yang sangat sayangi, bila satu syarat yang menenangkan tidak dapat saya penuhi. Walau saya tetap mendapatkan dukungan juga dari Ayahanda “ Kemanapun kamu melangkah asal akidah tidak tergadai silahkan Nak”.
Tapi sekarang saya menyadari, ketidakrestuan itu membuka mata saya, bahwa pendidikan bukan hanya sekolah, seorang yang berpendidikan bukan hanya karena sederet gelar yang tertera di belakang namanya. Banyak hal-hal yang harus dipelajari dalam hidup ini, yang ternyata selama ini terlupakan dalam hidup saya. Setiap tanah yang ditapaki adalah sekolah yang di sana terdapat banyak pelajaran dan pengalaman adalah guru yang berharga. “ Alam Takambang Jadi Guru”. Malu berucap diri berpendidikan ternyata banyak hal yang sama sekali tidak saya tahu. Jika kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di jalur resmi itu ada “ Alhamdulillah” jika tidak “ Alhamdulillah”, mungkin itu yang terbaik buat saya.
Jadi, bagi saya sendiri, pendidikan bagi perempuan itu penting di jalur pendidikan resmi atau di mana saja, ilmu itu ada di mana-mana. Meningkatkan kualitas perempuan bagi saya bukanlah bagaimana bisa sejajar atau mengalahkan lelaki, tapi agar bisa jadi tiang yang kuat, bukankah wanita tiangnya negara, baik buruk negara tergantung dengan baik buruk wanitanya. Bukan untuk bisa jadi kepala dan menginjak kaum adam. Karena hawapun tak ingin diinjak-injak tentu begitu juga dengan kaum adam. Bukan untuk saling bersaing, tapi untuk saling melengkapi dan menghargai. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi untuk semakin rendah hati dan menyadari, ilmu manusia itu hanya bagai air yang melekat di jarum yang dicelupkan ke dalam lautan, sedang lautan adalah Ilmu Allah.
Berhubung masih suasana Kartini. Boleh nulis begini, jika terkesan campur aduk, maaf ya yang membaca.
*** pagi di Jakarta***