“Rangkiang” judul cerpen yang kubaca pagi ini di majalah bulanan yang baru saja kubeli di depan Al-azhar, pasar kecil setiap jum’at yang banyak menjual buku-buku bagus dengan harga lebih murah, karena tidak harus dibebani oleh sewa toko, hanya lapak-lapak sederhana di bawah rindangnya pepohonan, dengan penjual yang juga ramah ramah, bahkan sering memberi tawaran menggiurkan “ Mbak kalau mau bukunya ambil aja dulu, gak bayar sekarang juga gak apa apa, nanti-nanti juga bisa, daripada bukunya keburu diambil orang “ ach kata-kata si Bapak sering bikin aku tersenyum kecut, saat kantongku berkondisi senada dengan kata-katanya, “ Makasih Pak ,nanti aja, takut ntar ngutang dan kelupaan” jawabku sejujurnya, walau dalam hati kadang menekan keinginan betapa inginnya aku membaca dan memiliki buku itu, tapi tidak lah jika harus mengutang, aku selalu ingat pesan Mak, kalau membeli sesuatu belilah sesuai kemampuan, jangan tergoda untuk mengutang walau kesempatan itu terbuka lebar, ya Amak orang yang anti dengan barang kreditan, sedangkan menunggu membeli kontan juga kadang tak kesampaian, sehingga di rumah tak banyak barang-barang ini dan itu seperti adanya rumah rumah orang lain, tapi tak apalah Mak, yang penting kita tak terlilit hutang. dan akan tetap merasa kaya walau sedang tak ada uang,wah gimana bisa ya? Kata mak karena kita masih tetap tenang berhubung nanti dan esok tidak ada ibu-ibu tukang kredit yang datang nagih utang, intinya terbebas dari rasa takut ( ach Mak, walau petuahmu usang untuk zaman serba credit card sekarang, tapi tak akan lapuk untuk sebuah ketenangan, Mak.. miss U)
Now, back to Rangkiang ( lumbung padi yang dibangun di halaman rumah utama), menurut cerpen itu, kisah itu bercerita tentang rangkiang yang tinggal satu-satunya di kampuang itu di Batu Hampar, Payakumbuh ( my hometown) harus dirubuhkan karena menghalangi jalan saat ada pesta perkawinan. Yang akhirnya meninggalkan hubungan tak sedap antara Ibu dan anak yang menikah karena sang Ibu menganggap dengan pesta perkawinan anaknya telah menghilangkan symbol budaya yang tinggal satu satunya. Aku jadi teringat dua rangkiang di depan rumah gadangku dulu yang juga dirubuhkan waktu ada pesta pernikahan kerabatku karena juga dianggap sebagai penghalang dan tidak berfungsi lagi, karena sekarang padi tidak lagi disimpan di rangkiang seperti pada zaman dulu tapi di atas rumah atau di heler-heler saja, padahal rangkiang itu bentuknya unik dan sarat budaya dan etnik, waktu kecil aku suka sekali main di sana, atau bermain petak umpet dan rumah-rumahan hingga ke atas rangkiang, dua rangkiang yang yang bentuknya berbeda juga mempunyai fungsi berbeda kata almahummah Uwo (nenek) dulu, yang satu atapnya tidak bergonjong dan di depannya ada pajang tanduak sapi itu untuk padi yang ditujukan untuk dimakan sehari hari setelah dikeluarkan zakatnya yang di dalamnya disekat menjadi empat bagian, yang satu lagi bentuknya atapnya bergonjong persis rumah gadang dan didepannya terpajang tanduk kerbau, untuk tempat penyimpanan tabungan buat musim pacaklik jika panen tak bagus di musim kemarau ato ada keperluan tak terduga seperti, ada kematian, pesta dan perbaikan rumah gadang, ruangannya juga disekat menjadi empat bagian. Dari cerita Uwo, betapa mulianya fungsi rangkiang di rumah gadang, tapi sering beralihnya masa, rangkiang tak lagi memiliki fungsi seperti itu bahkan, rangkiangku dulu dijadikan tempat ayam-ayam bertelur atau dijadikan tempat penyimpanan kayu bakar, dan akhirnya dirubuhkan jua dengan alasanya yang sama menghalangi halaman saja. Bukan hanya itu rumah gadang, berbentuk rumah panggung kayu tinggi yang beratap gonjong khas ranah minang juga dirubuhkan dan diganti dengan batu permanent walau masih tetap beratap gonjong yang menjulang tinggi, tapi jika aku boleh menilai, rasanya rumah gadang lama itu lebih punya nilai estetika tak ternilai jika di banding rumah induk sekarang, ya rumah gadang adalah rumah induk sanak sodara untuk berkumpul bersama-sama terutama jika ada pesta ato syukuran. Tapi apa boleh buat perkembangan zaman dan usia rumah tetap menjadi alasan pemugaran yang kadang mengabaikan estetika.
Membaca cerpen itu, membuatku melayang ke kampuang halaman, Rubuhnya Rangkiang Kami, bukan hanya terjadi dalam cerpen itu, rumahku tetapi juga pada rumah-rumah lain di kampungku dan mungkin pada rangkiang-rangkiang lain di negeri nun jauh di mato itu (hmmm…..). Kalaupun masih ada hanya berupa bangunan tua yang telah beralih guna atau terbengkalai begitu saja, atau rangkiang rangkiang baru yang sengaja dibangun beberapa orang pemerhati budaya untuk tujuan estetika ato wisata, tapi itupun tak seberapa, mungkin rangkiang nanti seperti syair lagu.” Rumah gadang nan sambilan ruang, rangkiang baririk nan di halamannyo”. Hanya akan tinggal kenangan nyanyian seperti dalam lagu itu dan generasi yang akan datang mungkin akan bertanya. "Rangkiang itu seperti apa ya?."
Jkt, 2:23 PM 8spet06
*** mengenang rumah ***
3 comments:
sadiah yo ur, rumah gadangpun sekarang udah jarang, padahal sangat indah dan eksotik. uni pegen bana punyo rumah gadang, tapi mahal....
iyo uni, uur taragak punyo rumah gadang nan baukia, sayang kini lah banyak dirubuhkan urang uni, sayang sekali. semoga keinginan terkabur uni. Rumah Gadang nan Sambilan Ruang.
Di Padang kota bahkan ndak ado basobok rumah gadang lai (kecuali kantua-kantua...), apolai basobok rangkiang. Makonto kalau pulang, bakajaan bana jalan-jalan ka 'darek' mah untuak mancaliak nagari Minang nan lumayan original.
Post a Comment