Kerling Bintang, cerpen yang baru saja baca di majalah pagi ini dalam salah satu alenianya tertulis:
“ Hujan terus, Is. Kadang kami di sawah bermandi hujan. Kalau sudah begitu deras, kami bernaung. Kamu masih ingat kan, is, nikmatnya nasi hangat meski hanya dengan sambal, disantap di hari hujan?”
Membaca alenia ini, ada getar rindu yang terasa, rindu akan saat bermandi hujan di sawah, dan jika hujan semakin deras bernaung di bawah dangau beratap ilalang. Ada getar haru terbayang raut wajah ayah bunda, dingin basah bertahan di bawah rintik hujan di tengah sawah demi harapan anak-anak bisa terus sekolah( jasa yang tak mampu terbalas oleh apapun).
Cerpen ini bercerita tentang perjuangan kakak beradik yatim piatu. Lebih tepatnya perjuangan seorang kakak demi adik adiknya. Mengharukan ceritanya tapi di akhir cerita alenianya tertulis;
“ Ah, air mata seakan telah habis ia keluarkan. Matanya kembali menatap milyaran bintang. Ia seakan melihat senyum kakaknya pada salah satu bintang. Entah, senyum kecewa atau senyum bahagia….”
Sebuah akhir yang menyedihkan, ketika sang kakak tewas tersambar petir di sawah dan sang adik belum sempat menyatakan kepada kakaknya bahwa ia telah berhenti kuliah karena biaya yang tak ramah kepada orang-orang seperti mereka. Padahal dalam kisah itu tergambar perjuangan keras hidup mereka.
Saya langsung teringat salah satu buku cerita karangan Sutan Takdir Alisabana “ Tak Putus Dirundung Malang”. Yang saya baca waktu SMP, kisah ini menceritakan sepasang kakak beradik yang saling menyayangi, pergi merantau untuk melanjutkan kehidupan mereka. Akhirnya sebuah toko roti menjadi pengharapan untuk tetap bertahan hidup, setelah itu tempat satu satunya yang sudi menerima mereka sebagai pekerja di sana.
Di sana kisah hidup bergulir, kisah-kisah sederhana yang dikemas dramatis, perjuangan, ketulusan, keluguan, dan kejujuran dua tokoh kakak beradik berbaur bersama iri dengki dan tipu daya, dan niat niat terselubung orang-orang sekitar, yang seolah juga menggambarkan dunia tak akan pernah ramah pada orang-orang seperti mereka. Hari demi hari kemalangan demi kemalangan tak putus merundung mereka. Hingga akhir cerita yang sangat tragis. Si adik perempuan mati bunuh diri, sedang sang kakak mati jatuh dari kapal, dan jasadnya tak lagi dicari orang karena tak ada lagi yang mempedulikan, jangkar kapal hanya diturunkan sesaat setelah itu berlalu seiring habisnya tutur cerita.
Buncah ruah begitu perasaan saya dulu waktu membaca akhir cerita itu. mengapa cerita itu begitu kejam, dua kakak beradik yang sangat baik, tulus, jujur serta lugu harus berakhir dengan tragis seperti itu. Rasanya setiap yang hidup pasti akan mati, tapi mengapa kematian sang adik harus bunuh diri, dan kematian sang kakak harus bersama keputusasaannya dalam sebatang kara, setelah kehilangan adik semata wayangnya sedang karakter tokohnya begitu kuat digambarkan jika mereka orang-orang yang baik. Mengapa pengarang kejam sekali, mengapa yang baik tidak berakhir baik di akhir cerita. Mengapa matinya tidak baik, tidak adil. Mengapa pengarang tidak mematikan tokoh dengan cara yang baik.
Sedih, luar biasa ketika tenggelam dalam ceritanya, tapi kemudian saya terpikir, itu hanya cerita, dan Sutan Takdir Alisabana telah berhasil menjadikan ceritanya sesuai dengan judulnya “ Tak Putus Dirundung Malang” sehingga saya sebagai pembaca tak putus dirundung air mata ketika membacanya, jika cerita nya berjudul “ Tak Putus Dirundung Mujur “ atau “ Rundung Malang Membawa Mujur “ tentu kisahnya akan berakhir bahagia, atau setidaknya dengan kematian yang indah, sebuah kematian yang membahagiakan di hari kebangkitan nanti, dan cukuplah derita mereka hanya di dunia saja.
Itu hanya cerita buah karya manusia, akhir cerita rekayasa manusia, atau nyata berbaur rekayasa, cerpen Kerling Bintang dan roman Tak Putus Dirundung Malang dua kisah berakhir tragis terhadap tokoh-tokoh yang digambarkan baik, adalah buah karya manusia, wajar jika di sana saya merasakan ketidakadilannya. Karena rekayasa yang sempurna adalah dari Pemilik Seluruh Kesempurnaan, yang baik pasti akan berakhir baik, jika akhirnya tidak baik pada hal yang seolah tampak baik, pertanyakan kembali berarti dalam yang tampak baik ada unsur ketidakbaikan, yang buruk akan berakhir buruk, jika berakhir baik untuk hal yang seolah buruk, berarti dalam hal yang tampak buruk ada unsur kebaikan, hanya mata salah melihat, hati salah menduga, sedang keadilan Yang Maha Adil itu PASTI. Jika belum bisa menemukan keadilan berarti hati yang masih harus diadili (terutama buat diri sendiri).
Membaca karya yang berakhir sedih yang tidak menenangkan bukan haru yang menyejukkan, kadang saya suka berpikir dua kali, buat apa membuat suasana hati makin gaduh dan sengaja membuat keruh, sedang yang telah keruh saja butuh waktu untuk menjernihkannya kembali. Tapi juga pelajaran, jika membaca sesuatu jangan terlalu larut dan tenggelam nanti susah mengapung kepermukaan lagi.
Saya tipe orang yang mudah tenggelam dalam alur cerita tapi susah naik mengapung lagi. Tapi juga tak mungkin setiap cerita yang ada di dunia ini indah-indah saja, alangkah sangat egois dan kekanak-kanakkan jika hanya menginginkan akhir cerita yang indah-indah saja ( hmm dua sifat yang seringkali kambuh). Apapun yang terjadi dan akhirnya apapun yang didapat dari setiap cerita hidup harus dihadapi dengan lebih dewasa. Mungkin seperti komentar Bapak yang sering saya dengar “ Kekanak-kanakanmu tak pernah hilang “ malu sendiri jika mengingatnya dan juga berikut nasehat “ Belajarlah untuk lebih dewasa Nak…” ( I keep trying Pak).
Hidup tak akan selalu indah, tapi selalu punya hikmah…..
Bersambung………
No comments:
Post a Comment