Baik buruk bangsa ini tetaplah bagian hidupku, yang akan tetap dicinta sampai waktu menutup mata.
Ini hanya unek-unek yang ingin kutulis, tentang apa yang aku lihat dan kurasakan, ini hanya pendapat pendapat, yang bisa saja salah bisa juga benar, dan setiap pendapat bisa dibantah, bisa disanggah.
Dalam politik luar negeri suatu negara yang tertuang dalam kebijakan luar negerinya( Foreign Policy ) tujuannya adalah untuk mencapai kepentingan negara tersebut, untuk keuntungan Negaranya sendiri, jadi apakah mungkin jika sebuah kebijakan Negara asing untuk memberi hibah kepada negara Indonesia untuk tujuan “ Rugi “ rasanya tidak mungkin, semua pasti untuk kepentingan negaranya, bagaimanapun negara tidak akan dianggap berdaulat jika tidak mampu memperjuangkan kepentingannya, Cuma sejauh mana kepentingan yang ingin dicapai tentu berbeda setiap negara, apakah hanya sekedar kepentingan untuk terciptanya hubungan baik antara dua Negara, kepentingan untuk bisa mempengaruhi ( influence), kepentingan untuk bisa menunjukkan kekuasaan (power) yang akhirnya bisa menjadi kekuatan untuk memaksa (force), sebagai puncak dari tujuan politik, , tergantung pada negara mana sebagai subjek pelaku dalam kebijakan itu sendiri. Begitu juga dengan Hibah ada juga Negara asing. Sedikit banyak mereka pasti menginginkan keuntungan dari apa yang telah mereka beri.
Semalam ada berita radio, bahwa Bank Dunia minta laporan pertanggung jawaban Indonesia terhadap dana bantuan luar negeri untuk Bencana di Indonesia yang dicurigai Bank dunia dikorupsi berbagai pihak di daerah bencana sendiri atau di luarnya. Jika kecurigaan itu benar, alangkah ruginya, dua kali rugi mungkin, hibah saja sudah mungkin saja menyimpan maksud terselubung yang tidak mudah dideteksi atau sebagian pihak tidak mau meneliti mengapa, apa dan untuk apa ( termasuk yang lagi nulis-red)), jika hibahnya juga dikorupsi, duh tambah-tambah rugi. Dalam kasus ini adalah benar benar dana segar yang terkucur untuk saat dan pasca bencana yang terjadi. Bagaimana dengan berbagai hibah yang datang ke Indonesia dalam bentuk yang berbeda seperti untuk penanggulangan bencana sebelum terjadi bencana ( mitigation), bagaimana pula dengan bantuan hibah yang dikelola langsung oleh negara pendonor seperti pengiriman tenaga ahli ke Indonesia.
Sebagai negara yang menyadari posisi yang hingga kini tergolong negara dunia ke-III, rasanya juga tak mungkin menolak hibah, kita juga butuh dana untuk membangun bangsa ( kata-kata yang sering didengar), selagi masih hibah refleksi niat baik ( good will) negara asing terhadap kita ambil saja, mumpung belum ada pasal pasal hutang yang harus ditandatangani. Tapi sering terjadi bantuan hibah itu menguap saja entah kemana, tak begitu tampak hasilnya, sedang negara pendonor seing merasa jika sudah sampai target mereka, mereka sudah sukses dalam kontek kepentingan mereka, mereka sudah bikin program ini dan program itu dan sudah menghabiskan dana sekian dan ada bukti tidak dikorupsi untuk kepentingan pribadi, kelanjutannya? Terserah anda, sebagai pemilik bangsa.
Dalam contoh yang kecil yang langsung ditemui, seperti tenaga ahli, tenaga ahli yang dikirim ke Indonesia adalah hibah negara asing. Seharusnya mereka adalah orang orang yang harus dikuras otaknya, diambil ilmu dan keahliannya sebanyak banyaknya untuk bangsa ini, kerena memang untuk tujuan itu mereka dikirim ke sini. Tapi yang sering juga ditemui jangankan menguras ilmu dan keahlian mereka, untuk mendengarkan paparan singkat tentang ilmu yang mereka bisa di negara ini, banyak yang mempertanyakan “ saya dibayar berapa? untuk mendengarkan”. Padahal ilmu itu mahal, banyak orang pintar dan jenius di negara ini yang belum tentu mau berbagi ilmu walaupun kita telah meminta-minta. Jika tujuan mendengarkan hanya untuk menjawab pertanyaan dibayar berapa? rasanya juga itu juga yang akan tinggal dan paparan ilmu tadi menguap dan mungkin terbang bersama angin kembali ke negara asing lagi ( sayang sekali) dan yang tertinggal sebuah cap dari negara asing orang Indonesia Money Oriented. Tak rela jika kata-kata itu terlontar dari para ahli-ahli asing itu, sebagai bagian dari bangsa ini, jujur aku tak rela, seburuk apapun negeri ini adalah tumpah darahku jua tempat aku lahir dan dibesarkan dengan segala keelokan dan kencantikannya, tapi apa harus dikata jika kenyataan kadang memaksa untuk tak bisa membela diri.
Dan jika project-project bantuan resmi negara asing itu mengadakan seminar-seminar, yang diundang sering adalah para pejabat dan pihak-pihak berkepentingan dari instansi pemerintah yang terkait dengan bidang project, sejauh yang dilihat dan diketahui setiap seminar itu memakan biaya yang sangat mahal, karena diadakan di hotel-hotel berbintang, para peserta ditanggung biaya dari mulai berangkat hingga sampai kembali ke rumah mereka sendiri, dan sering mereka datang dari daerah-daerah yang jauh dari Jakarta, berapakah biayanya?. Ini tergolong perjalanan dinas, dan perjalanan dinas juga mendapat uang perjalanan dari instansi yang mengirim mereka ( aku tidak tahu apakah semua instansti begini, tapi sepanjang yang aku lihat memang begitu), berarti beserta itu mendapatkan uang perjalanan ganda dari project dan dari instansi, yang dihadiri adalah seminar contohnya saja “ Penanggulangan Bencana” dan yang pasti tujuannya untuk kebaikan bangsa ini juga. Tidak bisa disebut korupsi jika dana itu ganda, karena prosedurnya resmi dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, termasuk project itu sendiri. Tapi seandainya saja, jika boleh kita berandai-andai ( hmm.kata AA-Gym seburuk apapun bangsa kita kita jangan takut punya mimpi bangsa ini akan maju dan bagus, jika bermimpi saja takut, bagaimana akan mewujudkan, jadi anggap aja ini mimpi), jika dana yang dari project itu untuk peserta, semua peserta sudi menolak untuk mengambil dana itu karena biaya perjalanan mereka sudah ditanggung instansi, dan mereka bisa bersuara bulat dana itu dikumpulkan untuk kepentingan tujuan akhir dari seminar itu sendiri “ penanggulangan Bencana” cukup besar juga, kalau nomimal pribadi tentu tak seberapa tapi dikumpul tentu banyak. Tapi jika satu seminar biayanya 100-200 juta, jika untuk peserta separuhnya 50-100 juta, dan separuhya untuk biaya operasional jika ada 10 kali seminar berarti bisa terkumpul 500 juta- 1 millyar, mungkin sudah bisa menbangun dam kecil atau bendungan kecil untuk tujuan mengatasi bencana ( maaf jika salah hitung,,bukan orang tehnik). Tapi itu tak pernah ada, bagi project-pjoect negara asing itu mereka tidak rugi, sebesar apapun biaya yang diluarkan untuk program-porgram mereka adalah bagian dari Hibah terera jelas dalam anggaran negara mereka dan laporan itu ada dan sangat jelas, kemana dan untuk apa. Dan dalam laporan mereka, mereka telah sukses, mengalokasikan dana Hibah kesini dan kesitu, dan tentu saja dalam laporan merekan akan terdapat laporan pembayaran pada peserta seminar. Dan saat kita benar-benar membutuhkan dana untuk membangun fasilitas-fasilitas untuk menanggulangi bencana, Indonesia tak punya dana segar, akhirnya menerima Loan atau mencari Loan ( tambah hutang-red), sedang hibah tak sampai mencapai implementasi lansungnya, menguap kemana-mana. Siapakah yang rugi dan Siapakah yang salah? Sejahat apapun tujuan terselubung negara asing, kita tak bisa menyalahkan mereka, karena itulah politik penuh intrik dan strategi, hanya saja sejauh mana kita membangun pertahanan mengahadapinya itu yang perlu dipikirkan ( bagi para pemikir) apakah kita akan jadi pemain dari sebuah permainan yang diciptakan orang asing, menjadi pihak yang kalah yang menang? Atau telah menciptakan permainan baru untuk dimainkan bersama mereka? , sampai kapan kita menganggap mereka penjajah, jika kadang kenyataanya kita sendiri minta dijajah.
Tanah airku, tidak kulupakan, kan kukenang seumur hidupku
Karena cinta aku berkata
Karena tak rela aku bersuara
Selasa 11:28 29 Agustus 2006.
No comments:
Post a Comment