Diary satu malam, (sekedar uneg2)
Semalam saya berjalan-jalan mengelilingi kota Balikpapan bersama ke dua keluarga kakak-kakak saya Uda Pad dan Uni Wati, beserta ponakan-ponakan saya yang tengah lucu-lucunya. Setiap saya melihat wajah ponakan perempuan saya “Hana”, saya jadi geli sendiri, wajahnya seperti cerminan wajah saya ketika masih kecil, kok bisa?, entahlah apa karena Bapaknya, sepupu tertua saya ini, dulu sering menjadikan saya sebagai lelucon di masa kecil, hingga sekarang putrinya mewarisi sebagaian dari lelucon lelucon itu.
Dulu, saya belasan tahun menjadi bungsu dalam keluarga besar, kakak kandung, kakak-kakak sepupu dan sodara-sodara angkat saya. Selama itu pula saya diperlakukan sebagai Anak Bawang oleh pasukan kakak-kakak ini, di satu sisi disayangi, di sisi lain juga tak henti dikerjai, direcoki. Hidung saya yang pesek pernah menjadi korbannya, semua kakak-kakak saya berhidung mancung, jadi kata mereka hidung saya adalah pembelokan keturunan sehingga harus diluruskan, harus dibuat mancung dengan dipencet atau ditarik, diurut-urut batang hidungnya, saya yang masih kecil dan masih terlalu polos menurut saja ingin pula punya hidung mancung, akhirnya semua tangan-tangan jahil itu menjadikan hidung saya sebagai sasarannya, tak ayal lagi, hidung saya sampai berdarah-darah dan kesakitan.
Akhirnya semua kena marah besar, semua diangggap Bodoh, mengapa membuat hidung adik sendiri berdarah hingga berceceran di lantai, saya juga dianggap bodoh kenapa mau menurut saja ( ach waktu itu manalah saya tahu, mana yang bodoh mana yang pintar, sekolahpun mungkin belum, sedang sekarangpun saya masih sering merasa ‘tak pintar’jika terlalu vulgar menyebutnya dengan kata “bodoh”).
Kakak tertua itu merantau ke sini, mungin saat saya masih kelas 2 atau 3 SD. Menaiki Kapal Laut Kambuna di Teluk Bayur, sebuah kapal yang sangat besar menurut saya pada waktu itu. Sudah adat orang Minang mungkin “ jika dikampuang baguno balun, elok marantau badan dahulu “. Banyak orang minang menganggap jika ingin mencoba hidup penuh tantangan membutktikan eksistensi diri cobalah merantau, meski kadang menurut saya sendiri orang yang berani tinggal di kampong adalah orang yang juga berani menantang berbagai tantangan, karena hidup di kampong juga tak mudah, harus benar-benar siap berlapang dada, sabar dan penuh tenggang rasa, berani menghadapi segala anggapan baik dan buruknya dari masyarakat dan berdamai dengan segala kondisi dan keadaan. Berani menata hati ketika dipuji atau malah dicerca.
Kadang juga terjadi benturan pemikiran akibat, perbedaan sudut pandang orang antara perantau dan yang tinggal dikampung. Dulu saya pernah mendengar keluhan para perantau yang menyatakan orang di kampung suka menganggap orang rantau mapan, banyak uang sehingga seenaknya saja minta ini dan itu ke orang rantau. Tapi kadang hal ini juga tak juga patut disalahkan, buktinya banyak perantau yang memandang kesuksesan ketika mereka mampu membawa keberhasilan dalam bentuk materi pulang. Membangga-banggakan diri dikampung halaman, sudah begini sudah begitu di rantau. Membangun rumah besar-besar di kampong, kemudian hanya akan menjadi pajangan begitu saja, Tapi apakah itu yang disebut kemapanan?.
Setiap orang mugkin punya sudut pandang sendiri tentang kemapanan, jika yang mengganggap kemapanan adalah materi, maka jadilah mereka orang-orang yang akan berlomba mengumpulkan materi sebanyak-banyak, puaskah mereka? Atau hanya akan diperbudak oleh rasa kecanduan pada harta, semakin banyak semakin merasa kurang, entahlah mereka sendiri yang bisa menjawabnya. Sedang dari sudut pandang yang lain “ Janganlah mengukur tinggi dari tumpukan materi, semua kan tampak rendah dari sudut pandang budi…” siapakah yang akan setuju?.
Amak dulu sering berpesan ‘ kekayaan itu letaknya di hati, merasa cukup dengan yang ada, tenang dengan kesederhanaan, tidak risau ketika kurang, pandai berbagai ketika berlebih,’ mungkin ini adalah petuah yang telah usang, tapi bagi saya inilah adalah kekayaan yang harus selalu dijaga, oh Bunda mampukah anakmu seperti harapmu?a
Kini, langkah kaki membawa saya ke tanah ini “ Kalimantan”, tanah yang dulu saya tanyakan seperti apa dan di mana?, ketika kapal laut membawa sepupu-sepupu saya berlayar ke sini?. Dulu saya menolak ikut project pekerjaan ke Manado, kini saya pergi ke Balikpapan. andai boss dulu itu tahu entah apa komentarnya, meski penolakan dulu telah membuat dia marah, ditawari gaji dan posisi tinggi, malah menolak dan memilih memulai dari nol lagi. Mungkin itu adalah sebuah keputusan yang ‘ Tidak Pintar’, kata Tuan-tuan yang selalu menghina saya dulu “ sok idealis, sok tak butuh uang, sok suci “ meski mungkin mereka akan lebih merdeka tanpa adanya saya di project itu. Jujur saja keputusan itu saya buat atas dasar “as female I feel not safety”, naluri perempuan yang tidak merasa nyaman. Apapun imbalannya saya tidak mau memaksakan diri jika naluri sudah memberi tanda-tanda “ warning”. Walau secara logika, saya telah melepaskan sebuah kesempatan besar, tapi biarlah, hidup harus memilih, dan setiap pilihan punya resiko tersendiri, dan kini saya harus menghadapi resiko keputusan itu.
Betah kah di Balikpapan? tanya kakak-kakak saya,berapa lama saya akan di sini, sebulan, tiga bulan, enam bulan, bertahun? Jalani saja. Apa tujuan datang kesini?, menghindari sesuatu di kampung ?sekedar jalan-jalan?Mencari Kerja, Biarlah waktu yang akan menjawabnya……..
Tulisan ini tak bisa dilanjutkan… dua ponakan saya sekarang datang ke sini…. Hana… gigi dan lesung pipitnya bikin saya ngakak……si UUR kecil is coming………
2 comments:
ke kaltim, awal 2007 pernah wempi singgahi tepatnya di kebun yang ada di kutai kartanegara.
yang masih teringat adalah bandara sepinggannya dengan tiang yang diukir, eksotik menurut wempi ketimbang bandara minangkabau yang cuma nampilkan gonjong.
antara balikpapan ke samarinda ada masjid besar dekat sungai yang juga besar, sewaktu wempi disana masih pembangunan dan dipagari seng.
sekarnag mesjid itu sudah selesai bagus pula cantik megah dan adem
Post a Comment