Pagi setengah delapan, tapi cuaca Jakarta sudah tak lagi memberi sejuk, tak ada embun pagi yang berkilau saat disapa mentari pagi di rerumputan, tak ada kabut dingin menusuk tulang memberi nuansa segar memulai hari. Tapi..ya inilah Jakarta, pagi adalah bisingnya kendaraan beraneka rupa, sesak ramai orang-orang berlalu lalang menuju tempat kerja, berdesakan di atas bus kota, Metromini dan Kopaja, menuju tempat yang berbeda dimana setiap orang tak peduli untuk bertanya kemana? Ini…bukan kampung kecilku di kaki gunung Nun di negeri jauh di mato, yang jam jam segini menyentuh airpun terasa menyentuh es, dingin... ada butiran butiran bening yang masih berkilau sebelum kering diterpa mentari pagi di rumput rumput hijau depan rumah, masih terdengar kicau riuh burung-burung di atas rumpun bamboo ujung rumah menjadi nyanyian pengantar langkah-langkah tanpa alas kaki menuruni lurah menyusuri pematang menuju sawah dan ladang masing-masing saling bertukar sapa bercengkrama dengan canda-canda sederhana kemanapun dan dimanapun berada.... Hmmm ups, Tapi ini di sini bukan di sana…..ini Jakarta…meski berbeda jalani saja….
Sebuah prapatan lampu merah di satu sudut Jakarta, di sini biasa kumenunggu Kopaja 19 untuk menuju tempat kerja, sebenarnya tempat kerja bisa kutempuh dengan berjalan kaki, melewati jalan-jalan tikus memotong beberapa jalan utama, belok kiri belok kanan lurus sedikit sampai juga. Tapi cuaca yang sudah memanas terlalu memanjakan rasa malasku untuk berjalan apalagi bulan puasa lebih baik naik Kopaja saja.Di prapatan itu di bawah sebuah pohan rindang penghijau kota, untuk ketiga kalinya selama bulan puasa kulihat dia, Pak tua berseragam orange, dengan sepatu bot hitam di bawah lutut, lengkap dengan topi ala co-boy berwarna hijau duduk beristrahat, disampingnya ada tong warna kuning beroda dua dengan atribut sapu lidi bertangkai panjang seperti sapu para penyihir dalam cover buku Harry Potter. Wajahnya masih seperti kemarin, dan masih serupa dengan seminggu yang lalu, cerah bersinar dengan senyuman merekah seakan tak terpolusi oleh Jakarta yang gerah. Untuk ketiga kalinya juga dengan senyuman kami bertegur sapa dari mulut yang tersenyum ramah itu untuk ketiga kalinya pula berucap “ hati-hati neng, naik Kopaja berdesakan, ini bulan puasa mo lebaran, hati-hati tasnya banyak rampok kalo mo hari lebaran “ sebuah senyuman dan ucapan yang seakan memutarbalikkan cintra gerah Jakarta di mataku, ternyata masih ada keramahan, dengan senyuman terimakasih kujawab ucap pak tua itu “ iya Pak, terima kasih “ ya itu jawaban minggu lalu dan juga kemarin, tapi hari ini rasanya tidak cukup, rekah senyumnya membuatku ingin lebih mengenalnya “ sudah selesai kerjanya ya Pak ?“ tanyaku
“ belum neng, ini lagi beristirahat, nanti disambung lagi " katanya dengan senyuman yang lebih lebar. Jawaban itu membuatku berfikir, dia seperti tidak lelah walau telah berkerja entah dari jam berapa mulainya berteman debu jalanan kota, karena sejauh mataku mampu memandang jalanan ini sudah bersih, apakah senyuman itu yang membuat segalanya terasa mudah? Masih banyak tanya dalam hatiku yang ingin kusampaikan padanya, tapi seseorang lelaki berbaju kaus bertuliskan Dinas Kebersihan, dengan sepeda motor berhenti menghampirinya, kulihat sebuah amplot coklat diserahkan yang disambut dengan senyuman yang terus merekah, seperti sebuah ucapan syukur yang tak terdengar. Kopaja 19 berhenti di depanku, tergesa kulempar senyum tanda pamitan padanya, aku yakin dia membalasnya tapi laju Kopaka menghalangiku untuk melihat bukti. Hanya sebuah harapku di atas Kopaja, semoga amplot coklat itu membawa berkah untuknya dan keluarganya, seperti indah senyumannya yang selalu merekah memberi cerah di antara ketidakramahan Jakarta yang pongah.
Oh Jakarta, ternyata masih ada senyuman di kotamu……..
Jkt 4sept06
No comments:
Post a Comment