di sini aku marajut benang-benang peristiwa menjadi lembaran kain cerita sebagai pakaian kata kata penutup duka perhiasan ceria
Tuesday, October 10, 2006
Sawah
Saat aku lelah
Ku ingin sejenak menatap sawah
Lepaskan penat yang membungkah
Membuang gundah dan amarah
Saat aku merindu sepi
Ku ingin terhenyak diempuknya jerami
Mendengarkan desau-desau batang padi
Merasakan belai hembusan angin pagi
Saat aku disapa lengang
Ku ingin berlari di atas pematang
Menari berteriak sekuat lantang
Tanpa ada tegur kata terlarang
Saat aku tertawan rindu
Ku hanya mampu terharu
Dengan ucap tanya tergugu
“Masih adakah sawah itu?”
***MerInDu Ibu.....miss u so muchhhh***
*** hari ini pekerjaan cukup menyita rasa lelah ditambah dengan benturan-benturan kecil kesalahpahaman antara dua pemikiran kebudayaan yang sebenarnya tak perlu dipermasalahkan tapi juga susah untuk diuraikan, rasanya ingin sejenak berlari kesawah, menikmati Indah Anugrah Sang Maha Pemurah, yang tiada lelah dan tiada berkeluh Kesah. Robbi ampuni hamba yang sering tak malu berkeluh kesah***
***maaf pic nya lupa tadi diambil dari mana, pemilik pic maaf ya picnya diambil ***
Monday, October 09, 2006
Friday, October 06, 2006
Sunyi dan Damai
Wednesday, October 04, 2006
denting
denting alunan tak berdawai
tentang getar tak terurai
akan ucap yang tak sampai
pada harap tak tergapai
jkt.4sept06
tentang getar tak terurai
akan ucap yang tak sampai
pada harap tak tergapai
jkt.4sept06
Satu Senyum di Sudut Jakarta
Pagi setengah delapan, tapi cuaca Jakarta sudah tak lagi memberi sejuk, tak ada embun pagi yang berkilau saat disapa mentari pagi di rerumputan, tak ada kabut dingin menusuk tulang memberi nuansa segar memulai hari. Tapi..ya inilah Jakarta, pagi adalah bisingnya kendaraan beraneka rupa, sesak ramai orang-orang berlalu lalang menuju tempat kerja, berdesakan di atas bus kota, Metromini dan Kopaja, menuju tempat yang berbeda dimana setiap orang tak peduli untuk bertanya kemana? Ini…bukan kampung kecilku di kaki gunung Nun di negeri jauh di mato, yang jam jam segini menyentuh airpun terasa menyentuh es, dingin... ada butiran butiran bening yang masih berkilau sebelum kering diterpa mentari pagi di rumput rumput hijau depan rumah, masih terdengar kicau riuh burung-burung di atas rumpun bamboo ujung rumah menjadi nyanyian pengantar langkah-langkah tanpa alas kaki menuruni lurah menyusuri pematang menuju sawah dan ladang masing-masing saling bertukar sapa bercengkrama dengan canda-canda sederhana kemanapun dan dimanapun berada.... Hmmm ups, Tapi ini di sini bukan di sana…..ini Jakarta…meski berbeda jalani saja….
Sebuah prapatan lampu merah di satu sudut Jakarta, di sini biasa kumenunggu Kopaja 19 untuk menuju tempat kerja, sebenarnya tempat kerja bisa kutempuh dengan berjalan kaki, melewati jalan-jalan tikus memotong beberapa jalan utama, belok kiri belok kanan lurus sedikit sampai juga. Tapi cuaca yang sudah memanas terlalu memanjakan rasa malasku untuk berjalan apalagi bulan puasa lebih baik naik Kopaja saja.Di prapatan itu di bawah sebuah pohan rindang penghijau kota, untuk ketiga kalinya selama bulan puasa kulihat dia, Pak tua berseragam orange, dengan sepatu bot hitam di bawah lutut, lengkap dengan topi ala co-boy berwarna hijau duduk beristrahat, disampingnya ada tong warna kuning beroda dua dengan atribut sapu lidi bertangkai panjang seperti sapu para penyihir dalam cover buku Harry Potter. Wajahnya masih seperti kemarin, dan masih serupa dengan seminggu yang lalu, cerah bersinar dengan senyuman merekah seakan tak terpolusi oleh Jakarta yang gerah. Untuk ketiga kalinya juga dengan senyuman kami bertegur sapa dari mulut yang tersenyum ramah itu untuk ketiga kalinya pula berucap “ hati-hati neng, naik Kopaja berdesakan, ini bulan puasa mo lebaran, hati-hati tasnya banyak rampok kalo mo hari lebaran “ sebuah senyuman dan ucapan yang seakan memutarbalikkan cintra gerah Jakarta di mataku, ternyata masih ada keramahan, dengan senyuman terimakasih kujawab ucap pak tua itu “ iya Pak, terima kasih “ ya itu jawaban minggu lalu dan juga kemarin, tapi hari ini rasanya tidak cukup, rekah senyumnya membuatku ingin lebih mengenalnya “ sudah selesai kerjanya ya Pak ?“ tanyaku
“ belum neng, ini lagi beristirahat, nanti disambung lagi " katanya dengan senyuman yang lebih lebar. Jawaban itu membuatku berfikir, dia seperti tidak lelah walau telah berkerja entah dari jam berapa mulainya berteman debu jalanan kota, karena sejauh mataku mampu memandang jalanan ini sudah bersih, apakah senyuman itu yang membuat segalanya terasa mudah? Masih banyak tanya dalam hatiku yang ingin kusampaikan padanya, tapi seseorang lelaki berbaju kaus bertuliskan Dinas Kebersihan, dengan sepeda motor berhenti menghampirinya, kulihat sebuah amplot coklat diserahkan yang disambut dengan senyuman yang terus merekah, seperti sebuah ucapan syukur yang tak terdengar. Kopaja 19 berhenti di depanku, tergesa kulempar senyum tanda pamitan padanya, aku yakin dia membalasnya tapi laju Kopaka menghalangiku untuk melihat bukti. Hanya sebuah harapku di atas Kopaja, semoga amplot coklat itu membawa berkah untuknya dan keluarganya, seperti indah senyumannya yang selalu merekah memberi cerah di antara ketidakramahan Jakarta yang pongah.
Oh Jakarta, ternyata masih ada senyuman di kotamu……..
Jkt 4sept06
Sebuah prapatan lampu merah di satu sudut Jakarta, di sini biasa kumenunggu Kopaja 19 untuk menuju tempat kerja, sebenarnya tempat kerja bisa kutempuh dengan berjalan kaki, melewati jalan-jalan tikus memotong beberapa jalan utama, belok kiri belok kanan lurus sedikit sampai juga. Tapi cuaca yang sudah memanas terlalu memanjakan rasa malasku untuk berjalan apalagi bulan puasa lebih baik naik Kopaja saja.Di prapatan itu di bawah sebuah pohan rindang penghijau kota, untuk ketiga kalinya selama bulan puasa kulihat dia, Pak tua berseragam orange, dengan sepatu bot hitam di bawah lutut, lengkap dengan topi ala co-boy berwarna hijau duduk beristrahat, disampingnya ada tong warna kuning beroda dua dengan atribut sapu lidi bertangkai panjang seperti sapu para penyihir dalam cover buku Harry Potter. Wajahnya masih seperti kemarin, dan masih serupa dengan seminggu yang lalu, cerah bersinar dengan senyuman merekah seakan tak terpolusi oleh Jakarta yang gerah. Untuk ketiga kalinya juga dengan senyuman kami bertegur sapa dari mulut yang tersenyum ramah itu untuk ketiga kalinya pula berucap “ hati-hati neng, naik Kopaja berdesakan, ini bulan puasa mo lebaran, hati-hati tasnya banyak rampok kalo mo hari lebaran “ sebuah senyuman dan ucapan yang seakan memutarbalikkan cintra gerah Jakarta di mataku, ternyata masih ada keramahan, dengan senyuman terimakasih kujawab ucap pak tua itu “ iya Pak, terima kasih “ ya itu jawaban minggu lalu dan juga kemarin, tapi hari ini rasanya tidak cukup, rekah senyumnya membuatku ingin lebih mengenalnya “ sudah selesai kerjanya ya Pak ?“ tanyaku
“ belum neng, ini lagi beristirahat, nanti disambung lagi " katanya dengan senyuman yang lebih lebar. Jawaban itu membuatku berfikir, dia seperti tidak lelah walau telah berkerja entah dari jam berapa mulainya berteman debu jalanan kota, karena sejauh mataku mampu memandang jalanan ini sudah bersih, apakah senyuman itu yang membuat segalanya terasa mudah? Masih banyak tanya dalam hatiku yang ingin kusampaikan padanya, tapi seseorang lelaki berbaju kaus bertuliskan Dinas Kebersihan, dengan sepeda motor berhenti menghampirinya, kulihat sebuah amplot coklat diserahkan yang disambut dengan senyuman yang terus merekah, seperti sebuah ucapan syukur yang tak terdengar. Kopaja 19 berhenti di depanku, tergesa kulempar senyum tanda pamitan padanya, aku yakin dia membalasnya tapi laju Kopaka menghalangiku untuk melihat bukti. Hanya sebuah harapku di atas Kopaja, semoga amplot coklat itu membawa berkah untuknya dan keluarganya, seperti indah senyumannya yang selalu merekah memberi cerah di antara ketidakramahan Jakarta yang pongah.
Oh Jakarta, ternyata masih ada senyuman di kotamu……..
Jkt 4sept06
Monday, October 02, 2006
Dalam Termenung Berkicau Jua
Menurut seorang dosen filsafat yang unik, ya bagi saya beliau sangat unik dan istimewa, beliau jarang mengambil absen tapi jangan kaget jika beliau bisa memanggil mahasiswanya dengan nama lengkap dengan tiba-tiba, dan cara bicaranya yang awalnya terkesan ngawur dan cuek ternyata sebenarnya sangat sistematis jika alurnya diikuti dengan seksama terasa pesona dari apa yang sedang beliau bicarakan, dan jika mahasiswa tidak tidak acuh, beliau akan tetap berbicara dan tenggelam dengan alur pembicaraannya, tak peduli didengar atau tidak. Saat kita termenung ada dua kemungkinan yang terjadi, yang pertama merenung yang ke dua melamun, menurut beliau merenung itu, berfikir, alam fikiran yang akan membawa kita menerawang untuk memecahkan suatu masalah, mempertanyakan sesuatu yang ada dalam fikiran, hingga akhirnya menemukan jawaban dan ide-ide baru, dan saat seseorang selesai merenung dia seperti terbangun dengan lega dan mendapatkan sesuatu. Sedangkan melamun, alam hayalan yang akan membawa kita menerawang bermain bersama angan-angan, memasuki dunia pengandaian yang sesungguhnya berbeda dengan kenyataan yang ada, dan saat seseorang selesai melamun dia seperti tersentak dengan kecewa karena merasa kehilangan sesuatu. Jadi merenung itu dalam artian yang positif sedangkan melamun dalam artian yang negatif. Namun begitu, saat ini jujur saja, jika saya sedang termenung saya juga bingung ini merenung atau melamun. Dan bagaimanakah jika alam pikiran dan hayalan itu bergabung disebut apakah? Sayang, pertanyaan itu tak hadir waktu itu dan sekarang saya bukan mahasiswa lagi sehingga tidak bisa lagi bertanya kepada beliau.
Saat ini anggap saja saya sedang termenung dalam tulisan, saya ingin menerawang tentang suka dan duka. Suka duka merupakan perhiasan kehidupan, yang tidak bisa berdiri sendiri, tak akan nikmat suka jika tak pernah merasakan duka, tak akan sempurna duka bila tanpa ada suka sebagai perbandingannya, keduanya akan bergulir silih berganti menghampiri menjauhi, datang dan pergi dan keduanya tidak akan abadi selama dunia masih menjadi rumah kita. Menurut Dr. Aidh al –Qarni kebahagian itu tidak akan abadi, sebagaimana juga kesedihan tidak akan lestari ( la tahzan, maaf jika saya mengutip). Nikmatilah duka saat iya datang menerpa, jangan benci duka, karena duka adalah jalan rasakan indahnya suka, dan dekaplah suka saat iya datang menyapa, jangan terlalu menyanjungnya karena bagaimanapun ia juga sementara, tak ada yang abadi semua nya silih berganti. Beberapa hari yang lalu, dini hari saya mendapat berita duka kehilangan seseorang yang telah mengisi hari-hari dan menyayangi saya sejak kecil, saya begitu duka, rasanya banyak sesal yang membuat duka itu semakin dalam, saat saya menumpahkan rasa duka itu pada file diary, saya mendapat kabar kedua dari suami sohib karib saya sejak smu, bahwa telah lahir putra mereka dengan selamat melalui operasi Caesar dini hari. Saya tak tau persis apa yang saya rasakan saat itu, yang jelas saya terharu dan seakan berita itu seperti seteguk air dingin saat saya kehausan, sungguh menakjubkan serta merta saya bersyukur, Alhamdulilah, Maha Besar Allah. Jam dan waktu datang kehidupan baru dan perginya sebuah kehidupan hampir sama, yang semuanya nampak betapa besar KekuasaanNYA atas segala sesuatu. Seandainya berita kelahiran putra sahabat itu datang pada saat suasana hati saya biasa-biasa aja, mungkin rasa bahagia tidak setakjub hari itu, tapi karena saat itu saya benar-benar hanyut dalam duka, berita itu seakan hadiah indah tak terduga dariNYA. Janganlah benci duka karena dia adalah jalan untuk mengecap indahnya suka. Saya rasakan suka saat hati saya berduka. Betapa besar NikmatNYA yang terkadang sering diingkari.
Kehidupan dan kematian adalah KuasaNYA. DIA yang memiliki segalanya, datang sebagai titipan pergi sebagai perjalanan pulang kembali kepada Sang Pemilik Abadi. Berdukalah seperlunya dan bersukalah sewajarnya, semua hanya titipan…
Oh, saya ingin selesai menerawang, apakah saya seperti terbangun dan merasa lega, atau seperti tersentak dan merasa kehilangan?lamunan atau renungan?. Jika yang membawa menerawang ini adalah pikiran maka pikiran saya pasti terbatas, jika yang membawa adalah hayalan, semoga bukan angan-angan yang melenakan.
Jkt, 2sept06
Saat ini anggap saja saya sedang termenung dalam tulisan, saya ingin menerawang tentang suka dan duka. Suka duka merupakan perhiasan kehidupan, yang tidak bisa berdiri sendiri, tak akan nikmat suka jika tak pernah merasakan duka, tak akan sempurna duka bila tanpa ada suka sebagai perbandingannya, keduanya akan bergulir silih berganti menghampiri menjauhi, datang dan pergi dan keduanya tidak akan abadi selama dunia masih menjadi rumah kita. Menurut Dr. Aidh al –Qarni kebahagian itu tidak akan abadi, sebagaimana juga kesedihan tidak akan lestari ( la tahzan, maaf jika saya mengutip). Nikmatilah duka saat iya datang menerpa, jangan benci duka, karena duka adalah jalan rasakan indahnya suka, dan dekaplah suka saat iya datang menyapa, jangan terlalu menyanjungnya karena bagaimanapun ia juga sementara, tak ada yang abadi semua nya silih berganti. Beberapa hari yang lalu, dini hari saya mendapat berita duka kehilangan seseorang yang telah mengisi hari-hari dan menyayangi saya sejak kecil, saya begitu duka, rasanya banyak sesal yang membuat duka itu semakin dalam, saat saya menumpahkan rasa duka itu pada file diary, saya mendapat kabar kedua dari suami sohib karib saya sejak smu, bahwa telah lahir putra mereka dengan selamat melalui operasi Caesar dini hari. Saya tak tau persis apa yang saya rasakan saat itu, yang jelas saya terharu dan seakan berita itu seperti seteguk air dingin saat saya kehausan, sungguh menakjubkan serta merta saya bersyukur, Alhamdulilah, Maha Besar Allah. Jam dan waktu datang kehidupan baru dan perginya sebuah kehidupan hampir sama, yang semuanya nampak betapa besar KekuasaanNYA atas segala sesuatu. Seandainya berita kelahiran putra sahabat itu datang pada saat suasana hati saya biasa-biasa aja, mungkin rasa bahagia tidak setakjub hari itu, tapi karena saat itu saya benar-benar hanyut dalam duka, berita itu seakan hadiah indah tak terduga dariNYA. Janganlah benci duka karena dia adalah jalan untuk mengecap indahnya suka. Saya rasakan suka saat hati saya berduka. Betapa besar NikmatNYA yang terkadang sering diingkari.
Kehidupan dan kematian adalah KuasaNYA. DIA yang memiliki segalanya, datang sebagai titipan pergi sebagai perjalanan pulang kembali kepada Sang Pemilik Abadi. Berdukalah seperlunya dan bersukalah sewajarnya, semua hanya titipan…
Oh, saya ingin selesai menerawang, apakah saya seperti terbangun dan merasa lega, atau seperti tersentak dan merasa kehilangan?lamunan atau renungan?. Jika yang membawa menerawang ini adalah pikiran maka pikiran saya pasti terbatas, jika yang membawa adalah hayalan, semoga bukan angan-angan yang melenakan.
Jkt, 2sept06
Subscribe to:
Posts (Atom)