Wednesday, February 28, 2007

di

Di jendela waktu
kutunggu senyummu
matahariku

Thursday, February 15, 2007

Teringat Tutur Masa Kecil

Dahulu, sewaktu saya masih TK dan SD ketika seragam sekolah yang saya pakai masih putih-ungu dan merah-putih, saya ingat kebiasaan saya dan teman-teman sepulang dari sekolah, kami akan mencari ranting-ranting kayu sepanjang jalan masing-masing akan membawa satu atau dua ranting, lalu kami akan menuju sebuah pondok kecil di tengah kebun kopi, sebuah pondok dengan halaman yang sangat bersih dan tertata, bekas guratan-guratan sapu lidi selalu tampak jelas bergaris-garis di tanah halaman memberi tanda kalau sang pemilik pondok pastilah orang yang sangat rajin menyapu, menyukai keindahan dan keteraturan, dinding pondok terbuat dari anyaman bambu yang punya nilai seni tersendiri.

Setelah sampai di pondok itu, kami semua akan sangat girang jika melihat pintu pondok itu terbuka dan asap tungku mengepul dari dalamnya, itu berarti sang pemilik ada di rumah. Di depan pondok dengan sikap polos anak-anak kami akan mengumpulkan ranting-ranting dan menyerahkan pada sang pemilik pondok dengan penuh harapan pemilik pondok akan menggantinya dengan sesuatu yang kami inginkan, walau seringkali pemilik pondok minta kami menunggu jika beliau sedang memasak atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lain, beliau memerintahkan kami duduk teratur berjejer dekat tungku dan jangan berebut serta ribut, saya masih terbayang saat duduk di dekat tungku saya sibuk memperhatikan api membakar kayu, kobaran api kecil menari menghangatkan periuk hitam pemasak nasi, jika telah mendidih saya akan bersorak girang, bahwa tak lama lagi permintaan kami akan dipenuhi, karena nasi telah masak. Akan tetapi, saya juga sering salah duga ternyata, sang pemilik pondok belum juga segera memenuhi permintaan kami, melainkan malah menyodorkan sebuah cerek dan jeregen kosong, beliau meminta dijemputkan air ke mata air di dalam lurah yang berjarak 100-150 meter dari pondok tersebut, biasanya dua atau tiga orang dari kami akan segera melaksanakan. Waktu itu saya tidak pernah terpikir, mengapa tak seorangpun dari kami yang protes, mungkin harapan agar keinginan segera dipenuhi lebih besar dari pada pikiran untuk mempertanyakan kenapa ditunda-tunda?.


“ENGKU” begitu orang sekampung memanggil sang pemilik pondok, beliau adalah seorang Ulama yang telah lanjut usia, tinggal sendiri di pondok, yang saya tahu, istri beliau telah lama meninggal mungkin sebelum saya lahir, saya tidak tahu mengapa beliau memilih tinggal di pondok itu dari pada di rumah anak-anak dan cucu-cucunya, padahal sepertinya anak cucunya sangat menghormati dan menyayanginya. Kata orang, beliau hafal Al-Quran, dan saya sering mendengar lantunan ayat-ayat suci dari pondok itu, sehingga suasana kebun kopi yang cendrung gelap terasa begitu nyaman. Atau ketika beliau naik mimbar memberi ceramah di mesjid, ayat-ayat Al-Quran akan lancar mengalir dari bibirnya.


Bila “ Datuak Engku” begitu kami memanggilanya, sudah mengambil bangku kecil dan duduk di dekat kami, maka kami akan makin merapat dan terdiam tak sabar mendengarkan suaranya keluar. Ya itulah yang kami tunggu, beliau akan menukar ranting-ranting kayu dan secerek air dengan bercerita tentang kisah-kisah para nabi dan kisah-kisah tauladan dalam tutur dan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak dan membawa hanyalan anak-anak terbang ke dalam kisah itu, jika beliau bercerita tentang kisah Nabi Yunus, maka saya sudah membayangkan berada di perut ikan, Nabi Nuh, maka saya pun membayangkan sebuah kapal yang besar. Setiap hari berganti maka kisah para nabi itu akan bersambung, dan setelah selesai akan diganti dengan kisah Nabi-Nabi yang lain. Saya pertama kali mendengar kisah-kisah itu dari beliau, sebelum saya bisa membaca kisah-kisah itu dalam terjemahan Al-quran atau dari buku-buku yang saya baca.


Terkadang, beliau juga mengisahkan tentang kisah anak-anak tentang kejujuran, menuntut ilmu, dan sifat-sifat terpuji, yang setelah besar baru saya tahu itu sebagian dari kisah-kisah masa kecil para iman-iman mahzab, tetapi karena waktu itu saya masih kecil dalam dunia anak-anak pemikiran saya tidak sampai menelaah ke arah itu, saya hanya senang mendengarkan kisah-kisah itu dan ingin berprilaku meniru anak-anak dalam kisah itu, ya sifat anak-anak selalu ingin meniru apa yang didengar dan dilihatnya dan termasuk juga saya.


Saya tidak ingat persisnya, kapan saya dan teman-teman sekolah berhenti datang ke pondok itu, mungkin dalam masa peralihan anak-anak ke remaja, mungkin juga saat saya telah tamat sekolah dasar, karena jika pulang dari sekolah SMP, arahnya bertolak belakang dari sekolah TK dan SD, dari sekolah ke rumah tidak lagi melewati kebun kopi itu, dan saya juga sudah jarang melihat beliau naik mimbar di mesjid apakah karena sudah semakin sepuh atau alasan apa, juga tak menjadi tanda tanya bagi saya waktu itu, dan mungkin juga waktu itu saya dan teman-teman mulai suka menonton TV, atau membaca komik dan novel-novel detektif hingga melupakan singgah ke pondok kecil di kebun kopi. Hal itu seeakan sebuah episode yang hilang dan terlupakan dalam memori saya.

Kini, Beliau telah tiada, sekitar 9- 8 tahun yang lalu, menemui Sang Maha Cinta, semoga amal ibadah beliau diterima disisiNYA dan semoga Allah menyayangi beliau seperti beliau menyanyangi setiap anak-anak yang datang ke pondoknya. Pondok itu masih ada, tapi sudah berubah bentuk dan fungsi, kebun kopi yang dulu juga telah tak bisa lagi disebut kebun sekarang saya tidak tahu lagi apakah masih ada batang kopi di sana atau tidak. Tetapi walau beliau telah tiada dan pondok itu telah berubah tapi kenangan dan cerita beliau tentang kisah-kisah mulia itu seperti terukir jelas dalam ingatan. Terima kasih Datuak Engku, hanya doa saat ini yang dapat saya panjatkan, semoga Allah memberi tempat terbaik bagi Beliau.


******
Ketika saya teringat sepenggal kisah masa kecil....

Monday, February 12, 2007

Sebuah Buku


Buku ini, saya beli hari jum’at yang lalu, sebenarnya saya tidak punya rencana membeli buku ini, karena saya berniat membeli buku yang lain, pas setelah saya membeli buku yang saya rencanakan itu, Bapak penjual menyodorkan buku ini. “ Mbak ini bukunya bagus “. Kaget, ya saya sangat kaget disodorkan buku ini, Judul bukunya membuat saya ingat diskusi saya dengan teman beda agama saya seminggu yang lalu, dan ternyata isi buku ini adalah jawaban dan kesimpulan sempurna dari tanya-jawab malam itu ( Subhanallah).

Awal pertama saya mendapat pertanyaan-pertanyaan darinya saya takut menjawabnya, saya menyadari ilmu agama saya sangat sedikit dan begitu banyak yang tidak saya tahu rasanya tak sanggup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi akhir-akhir ini saya mulai merasa, jika pertanyaan-pertanyaan darinya membuat saya ingin belajar dan belajar lagi, haruskah saya takut? Bukanlah lebih baik mensyukurinya (Alhamdulillah).segala sesuatu tak akan terjadi tanpa izinNYA, begitu juga dengan pertanyaannya pada saya semua pasti atas izinNYA. Jika sebuah kesalahan membuat hati ingin selalu mencari kebenaran, haruskah segalanya disesali? Kata para orang sholeh, setiap hati punya potensi untuk menangkap kebenaran, hanya saja tergantung manusia pemilik hati untuk mengembangkan atau tidak potensi itu.

Atas segala kekurangan dan keterbatasan saya sebagai manusia yang tidak sempurna saya ingin selalu belajar dan belajar, Belajar mencintai-Nya, karena kekurangan adalah ujian dariNYA, apakah saya bisa bersyukur? mungkin saya bukan pecinta sejati seperti dalam syair para sufi, di mana kenikmatan terindah begitu terasa saat penyerahan total kepadaNYA, tapi Ya Robbi, izinkan saya belajar, Belajar MencintaiMU. Hingga seperti tulisan seorang sahabat “jika berjalan dalam CintaNYA, suka dan duka tiada beda”.

Tuesday, February 06, 2007

Banjir

Akhirnya, merasakan juga terjebak dalam banjir dan jadi pengungsi

Thursday, February 01, 2007

Diary Satu Malam

(ketika ingin bercerita)

Sore menjelang malam, saya ditelpon teman yang bertanya apa saya ada kegiatan malam ini dan bolehkah ia main ke rumah, sebenarnya malam saya punya kegiatan, hanya berhubung semalam saya tidak bisa mengikuti kegiatan itu, jadi hanya berdiam di rumah, saya sangat senang mendapat telpon seperti itu, berarti ada teman ngobrol, dan badanpun rasanya kurang-kurang enak, jika ada teman rasanya akan lebih mudah melupakan rasa tak enak itu dan lebih santai dan segar, saya dan dia juga jarang-jarang bertemu, ketemu sekali-sekali pasti banyak saja yang dibicarakan (apakah hanya tabiat wanita saja yang suka ngobrol jika ketemu teman? Hmmm..Asal jangan ngomongin kejelekan orang aja :D, Ya Allah lindungi hati ini agar mampu menjaga lisan…Amin). Dan mungkin teman saya juga sedang ingin menyegarkan suasana dengan ngobrol, diskusi atau sekedar ketawa-ketiwi.

Setelah magrib ia datang langsung dari tempat kerjanya, di rumah masih ada teman saya yang lain, setelah saya perkenalkan suasanapun hangat, karena teman saya yang lain ini akan pergi mengikuti kegiatan malam ini, dan ia hanya singgah buat sholat dan makan malam bareng, ia pun pamitan dan saya hanya titip pesan, buat teman-teman di kegiatan malam itu, “ maaf tak bisa hadir, salam saja buat semuanya” melihat itu, tiba-tiba teman saya ini langsung berujar “ saya pengen seperti kalian, malam punya kegiatan, tidak suntuk selepas kerja, ada yang dilakukan dan itu bermanfaat, saya ingin ikut kegiatan seperti itu, sayang di sini saya tidak bisa dan tidak ada kegiatan seperti itu, atau saya yang tidak tahu “ jujur saya tercengang dengan ucapannya, waktu saya menatapnya saya tau ucapannya bukan basa-basi. Dalam hati hanya mampu berbisik “ Oh kawan, bukan tak sudi mengajakmu ke kegiatan seperti itu, tapi jalan kita berbeda, dan saya sangat menghormati perbedaan itu, dan sayapun yakin engkau juga sangat menghormatinya, Lakum dinukum waliyadin”.

Akhirnya ngobrol pun lanjut dari yang sepele ke yang serius, dari yang lucu ke yang menegangkan, kecil dan besar ( hmm buat ukuran wanita yang kecil pun bisa dianggap besar hehhehehe, waktu malam seperti itu rasanya juga ngomongin masalah negara gak bakal efektif :D). Semalam juga banyak pertanyaan-pertanyaannya yang membuat saya harus memutar otak untuk menjawabnya, diskusi tentang buku, dan Alhamdulillah pertanyaannya-pertanyaannya itu jawabannya ada dalam buku yang baru-baru ini saya baca dapat pinjaman dari teman dan bukunya belum saya kembalikan, jadi saya perlihatkan dan mempersilahkan ia membacanya sendiri, jawaban saya bisa saja salah, tapi buku saya anggap lebih akurat, akhirnya dia angguk-angguk sendiri, ia juga memperlihatkan buku yang dibawanya, tentang wanita, saya hanya mengucapkan bukunya bagus, bukan tak menghargai dengan tak ingin membaca tapi saya sudah sangat yakin dengan kebenaran jalan yang saya anut, jadi saya tak butuh lagi pembanding.

Hujan lebat mengguyur Jakarta, tak terasa jam sudah lewat dari angka sepuluh dan hampir mendekati sebelas, ia ingin segera pamit, menurut saya hujan lebat lebih baik ia nginap di tempat saya saja lagian sudah malam, karena berkeras bilang tak apa-apa akhirnya, dengan berpayung ria di bawah hujan lebat saya mengantarnya menunggu Bajai di tepi jalan raya depan kost2an, belum lama berdiri iringin mobil yang tiba-tiba lewat di depan kami melewati genangan air yang tidak jelas nampak sebelumnya dalam gelap, otomatis genangan yang terlewati iringin mobil itu menyembur kami, hmmmm “Kuyup sudah” seluruh tubuh basah kuyup, tak menyangka genangan itu sedalam itu padahal kesannya tak ada nampak dalam gelap, kami hanya bisa kaget dan spontan tertawa lepas, marahpun juga gak ada gunanya salah siapa hujan lebat berdiri dipinggir jalan raya. Tapi mimpi apa sebelumnya malam-malam kuyup kesembur air genangan jalan ( duh bicara soalnya mimpi, kayaknya sebelumnya saya mimpi yang menurut saya indah, kata orang mimpi itu bunga tidur, gimana kalau tidur liat bunga? terbangun dengan senyuman dan rasa syukur alhamdulillah), karena tak memungkinkan dengan kondisi kuyup pulang ke kostnya teman akhirnya kami kembali ke kostan saya dengan tertawa-tawa lepas, mumpung hujan deras jadi tawa bisa dilepaskan tak akan ada orang yang mendengarkan, sudah lama juga tidak bermain-main di bawah hujan, ada kesempatan datang tak sengaja ya dinikmati aja lagi.

Untunglah masih ada kaos oblong yang muat dengan ukurannya, jadi ngobrolpun akhirnya lanjut lagi. Jika sebelumnya dari sana ke sini, makin malam malah ngomongin lagu dan nyanyian sambil mendengarkan beberapa lagi dari mp4nya, dan saya juga minta ia menyanyikan lagu lagu tersebut, tentu beda suara orang yang terbiasa dengan paduan suara dengan suara yang biasa nanyi di kamar mandi (:D), di antaranya, Remember Me This Way, Dance with My Father, Only Time, Home, Because You Love Me, To Love You More, dan masih banyak lagi yang judulnya saya lupa, suara hujan meredam suara nyayian jadi tak masalah buat kamar-kamar sebelah.

Kemudian dia mulai cerita tentang kegiatan lainnya di luar kesibukan kerjanya, dia mulai bergabung dengan LSM untuk anak jalanan dan bertugas sebagai pengajar di waktu libur dia lansung berucap “ jika kita membuka mata keluar sana, ternyata begitu banyak orang-orang yang tidak beruntung, tidak punya orang tua, bahkan tidak tau siapa orang tuanya, kita jauh lebih beruntung” katanya, saya mendengarkan dan ikut mengiyakan dan iya lanjut lagidi depan mereka rasanya malu, jika kadang sering bersedih hanya untuk masalah yang menyangkut diri sendiri” deg rasanya saya baru saja mendapat pelajaran berharga dari kata-katanya, ceritanya terus bergulir tentang anak jalanan, ya banyak cerita yang dapat diambil hikmahnya dari sana dia berkata lagi “ andai saya bisa mengajar satu orang, dan dia bisa pintar, terus dia juga bisa mengajarkan satu orang lagi dan begitu seterusnya seperti multilevel marketing, Indonesia ini bisa sedikit-sedikit jadi pintar ya?” katanya lagi, ia sepertinya enggan menyebutkan nama Lsm tempatnya bergabung dan saya juga rasanya tak berhak bertanya, itu privacinya, mungkin saja nama itu akan memperjelas perbedaan jalan yang kami tempuh, jadi ia enggan menyebutkan ( Ya Allah.. bimbing hati ini untuk selalu berprasangka baik, dan tuntun juga hati ini agar dapat mengambil hikmah dan pelajaran terindah dari setiap apa yang saya dengar, temui, lihat dan hadapi… Amin.. )

Malam kian larut, saya tak tau persis kapan alam sadar dan mimpi memisahkan percakapan kami, dan waktu saya terbangun sudah segar lagi, dan bersyukur terima kasih ya Robbi, Engkau izinkan saya sedikit demi sedikit belajar dari setiap orang yang saya temui. Alhamdulillah.